Senin, 11 Oktober 2010

Kenaikan Harga BBM Tak Berarti Kiamat bagi Industri Properti

Kenaikan harga bahan bakar minyak sebesar rata-rata 28,7 persen akhir pekan lalu niscaya akan berdampak langsung terhadap peningkatan biaya konstruksi. Biaya pembangunan berbagai produk properti seperti perumahan, apartemen, kondominium, ataupun ruko serta mal dipastikan akan mengalami penyesuaian.

Di sisi produsen, para pengembang memang akan merasakan dampak langsung dari kenaikan harga BBM. Sebelum BBM naik pun, harga besi dan baja serta bahan bangunan lainnya sudah naik lebih dulu. Sementara di sisi konsumen, nasabah yang membeli produk properti melalui kredit pemilikan rumah (KPR) atau kredit pemilikan apartemen (KPA), niscaya saat ini sedang waswas apakah suku bunga kredit bank akan naik atau tidak.

Namun, pembeli produk properti sebenarnya sangat beragam. Nasabah dari strata ekonomi atas umumnya banyak yang membeli produk properti komersial dan mereka tidak terlalu mempersoalkan harga karena kebanyakan membeli dengan tunai.

Nasabah dari golongan orang kaya ini biasanya juga lebih mengutamakan sesuatu yang baru, baik dari sisi konsep, desain, maupun keamanan, serta aksesibilitas dari produk properti komersial yang dibelinya itu.

Sebaliknya, nasabah yang berasal dari golongan ekonomi menengah sangat rentan terhadap pergerakan suku bunga bank, khususnya KPR. Setelah Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan menjadi 8,25 persen, saat ini beberapa bank telah menaikkan suku bunga KPR yang bersifat tetap (fixed) menjadi rata-rata 10-11 persen per tahun untuk jangka waktu dua sampai tiga tahun.

Masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) telah mendapat jaring pengaman dari pemerintah berupa subsidi selisih bunga untuk pembelian rumah sederhana sehat (RSH) dan rumah susun sederhana milik (rusunami). Sekarang meski harga jual RSH sudah dinaikkan dari Rp 49 juta menjadi maksimal Rp 55 juta per unit, besarnya uang angsuran tidak naik.

Sudah memiliki pengalaman
Sejumlah pengembang menginginkan agar harga jual rusunami juga bisa dinaikkan karena harga bahan bangunan sudah merangkak naik. Saat ini harga jual maksimal rusunami sebesar Rp 144 juta per unit. Sangat boleh jadi kalau harga jual rusunami dinaikkan tanpa dibarengi dengan penambangan anggaran dari pemerintah sehingga berdampak pada peningkatan jumlah angsuran, maka penjualan apartemen bersubsidi untuk MBR ini akan tersendat.

Sementara itu, untuk menjaring nasabah dari golongan menengah yang mengandalkan KPR dan KPA, sejumlah pengembang melakukan kerja sama dengan perbankan untuk menjual dan membiayai produk properti khususnya untuk proyek perumahan dan apartemen.

Kerja sama itu biasanya lebih untuk pembiayaan KPR atau KPA bagi calon konsumen. Sedangkan biaya pengadaan dan pematangan tanah, saat ini lebih banyak ditanggung oleh pengembang sendiri. Berbeda dengan zaman dulu, di mana perbankan pun banyak memberikan kredit untuk keperluan pembebasan tanah.

Oleh karena itu, tidak heran jika pada saat krisis ekonomi tahun 1998, banyak pengembang yang terjerat kredit macet perbankan. Sebelum krisis ekonomi, sulit untuk membedakan antara pengembang dan spekulan tanah. Namun yang jelas, mereka berfoya-foya memakai duit bank untuk mengakumulasi modal.

Tidak hanya itu, pengusaha yang bermodal dengkul pun pada masa sebelum krisis ekonomi bisa menyatakan diri sebagai pengembang meski praktiknya lebih banyak sebagai spekulan tanah karena bisa menggunakan kredit bank untuk membiayai pembebasan dan pengadaan tanah.

Kembali ke soal dampak kenaikan harga BBM, pengusaha yang bergerak di sektor properti sebenarnya sudah memiliki pengalaman dalam menyiasati keadaan seperti sekarang. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, harga BBM sudah naik tiga kali. Namun, hal itu tidak menyurutkan orang untuk tidak membeli produk properti.

Akan memaksakan diri
Pada umumnya, pasangan suami-istri yang baru menikah pasti membutuhkan rumah meski untuk sementara mereka bisa tinggal di ”rumah mertua indah” atau menjadi ”kontraktor”. Akan tetapi, lambat atau cepat mereka tetap akan memaksakan diri untuk membeli rumah.

Dengan kata lain, meski harga rumah dan tanah terus naik, masyarakat tetap akan membeli rumah. Saat ini kebutuhan rumah sekitar 1 juta unit per tahun sedangkan backlog sektor perumahan sudah sekitar 9 juta unit. Jadi, sebenarnya industri perumahan masih akan terus tumbuh. Siklus bisnis properti atau naik-turunnya usaha di sektor ini biasanya berlangsung setiap lima tahun.

Jika kondisi makroekonomi membaik, industri properti juga cenderung prospektif. Sejumlah pengamat memperkirakan, laju inflasi akan mencapai dua digit hanya terjadi pada tahun 2008 saja, sebagai dampak dari kenaikan harga BBM dan pengaruh eksternal seperti kenaikan harga minyak dunia, komoditas, dan kenaikan harga makanan.

Tahun depan, laju inflasi diperkirakan akan kembali turun ke single digit sehingga suku bunga perbankan pun ada kecenderungan turun lagi. Pemerintah dan BI selaku otoritas moneter memiliki kepentingan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Yang dikhawatirkan banyak kalangan adalah meroketnya harga minyak dunia hingga 200 dollar AS per barrel. Jika itu yang terjadi, semua perkiraan dan skenario optimistis tahun depan memang bisa rontok. Namun, tidak lalu harus membuat kita menjadi pesimis. Betapapun keadaan ekonomi membelit masyarakat dan dunia usaha, kebutuhan akan rumah akan tetap ada.

http://nasional.kompas.com/read/2008/05/29/11520341/kenaikan.harga.bbm.tak.berarti.kiamat.bagi.industri.properti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar